H. Akbar
Ketua BaZIS Ciomas
Sungguh banyak
pelajaran yang dapat kita petik dari kisah panggung kehidupan ini.
Silih bergantinya waktu dari jam ke hari, memberi pendidikan kepada
manusia, agar mereka bisa melangkah dengan bijaksana, hati-hati dan
penuh kendali. Supaya manusia bisa memilih jalan mana yang mengantarnya
kepada keselamatan, dan mana jalan yang menyesatkan. Mereka yang bisa
memetik setiap 'kisah hidup', mengambil yang baik, dan menepis yang
buruk akan menjadi orang yang memiliki nilai, memiliki arti sebagai
manusia yang hakiki. Identitasnya sebagai manusia akan jelas dengan
nilai-nilai yang membedakan dari makluk Tuhan lainnya.
Pada
intinya, kehidupan ini adalah suatu perjalanan untuk mewujudkan dan
menegakkan nilai-nilai itu. Sebagai orang yang beriman,kaum muslimin,
nilai-nilai yang ingin kita tegakkan adalah nilai kebenaran yang
termaktub di dalam kitab suci al-Quran dan sunnah Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى
الله عليه و سلم). Nilai itu tumbuh sebagai buah dari keimanan. Ibadah
yang kita pupuk setiap hari akan menghasilkan buah keimanan itu.
Bila
amal ibadah yang kita lakukan selama ini belum menghasilkan buah iman
berarti ada yang perlu dibenahi dan diteliti ulang. Mengapa ibadah
menjadi mandul. Mengapa komunikasi dengan Tuhan tidak membuahkan
manfaat? Sekali lagi mungkin masih ada yang keliru.
Iman yang
benar akan melahirkan dan memunculkan kekuatan. Dan kekuatan yang
dimunculkan oleh jiwa yang beriman tidak lain adalah kekuatan kebenaran.
Kekuatan ini adalah kekatan yang paling besar nilainya. Mulia. Maka,
bagi siapa yang bersama-sama dengannya maka iapun akan menjadi mulia dan
terangkat derajatnya. Kekuatan kebenaran ini sifatnya kekal dan tidak
mudah rapuh oleh berbagai terpaan kehidupan itu sendiri. Ia tidak lekang
oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.
Yang akan rapuh adalah
sang pembawa kebenaran itu sendiri. Para ustazd, para kiai, para ulama.
Jasad-jasad mereka sirna ditelan bumi. Sedangkan kebenaran sebagai
sesuatu yang bersifat hakiki al hakku mirrabikum, sebagai sesuatu yang
berasal dari Tuhan yang Maha Mulia, keberadaannya tetap ada dan
langgeng.
Allah berfirman dalam Surat Yunus:32
فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang
sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.
Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?.”
Dua Kecenderungan
Kebenaran yang hakiki tidak mau kompromi dengan kejahatan. Keduanya ada jarak, ada pembeda (furqon).
Masing-masing memiliki kecenderungan sendiri-sendiri. Kecenderungan
yang di bawa oleh kebenaran adalah kebaikan, kemaslahatan, kemuliaan,
keindahan dan kemajuan. Sedang kecenderungan yang dimiliki oleh
kejahatan adalah keburukan, kedurjanaan, kerusakan, kehinaan, kejelekan
dan kemerosotan. Masing-masing sifat itu saling bertolak belakang dan
bertentangan satu sama lain.
Para pembawa risalah tidak usah
gegabah dengan menempati ruang pada satu sisi, kemudian mengambil posisi
lain, pada waktu yang lain. Kita tidak perlu tampil dengan dua wajah.
Apapun alasannya; seperti menyesuaikan kondisi zaman, biar fleksibel,
supaya lebih dinamis dan sebagainya.
Mencampur adukan antara yang hak dengan yang batil hanya membuat
“derajat” kebatilan semakin terangkat. Ibarat secawan susu yang ternoda
oleh setetas nila. Nilai kebenaran justru tertimbun oleh pengaruh buruk
kebatilan tersebut.
Terpeleset arti 'toleransi'
Manusia
sering mudah tergelincir oleh sebuah kata yang sederhana: toleransi.
Toleransi sering menyeret orang bersikap longgar terhadap hukum-hukum
yang telah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)
tetapkan. Biasanya 'makhluk' tolerensi memiliki segudang argumentasi
untuk melegalisir sikap yang semula tegas menjadi samar, halal menjadi
haram, boleh menjadi tidak atau sebaliknya. Karena lebarnya toleransi
inilah, sering kita saksikan rontoknya kegiatan dakwah para da’i,
muballigh, kiai, para pemimpin yayasan-yayasan Islam, tokoh Islam ke
dalam jurang kehancuran.
Hukum hijab yang semula ketat menjadi
longgar, bersalaman dengan wanita yang bukan mahram yang selama ini
bagian perbuatan yang dicaci makinya habis-bahisan, menjadi biasa
dilakukan. Perintah memelihara anak yatim dan memuliakannya bergesar
menjadi sebaliknya, menyia-nyiakan dan menelantarkannya. Silaturrahmi
yang semula digencarkan menjadi menipis, semakin menipis dan akhirnya
hilang sama sekali.
Membaca al-Qur’an, menegakkan qiyamul lail, memberi perhatian khusus
terhadap kaum dhuafa sudah semakin jauh dari jadual. Padahal hal-hal
tersebut termasuk kategori perhatian yang sangat utama dulu-dulunya.
Ada
banyak alasan yang bisa dikemukakan. Semuanya rasional dan bisa
diterima dalam kerangka berpikir logika. Diantaranya adalah efisiensi
dan efektifitas waktu, mengapa harus di tuntun-tuntun bukankah semua
seduah dewasa?
Tapi berbarengan dengan itu sebenarnya telah
semakin menjauh dari rel cita-cita. Setiap langkah program yang
dilakukan tidak malah menghasilkan kekuatan akan tetapi malah menukik ke
jurang kehancuran.
Gedung dibangun, organisasi diperbesar,
personil diperlebar dan disebar ke berbagai pusat kekuasaan agar
langkah-langkah tersebut dapat mendongkrak menuju ke cita-cita dengan
lebih cepat. Tapi pada kenyataannya? Yang muncul adalah kekeringan jiwa,
kegersangan ruhani.
Islam dan segala kemuliaannya hanya tinggal pada slogan-slogan.
Keasyikan merasakan tambahan derajat ketika mengamalkan satu demi satu
ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) berganti dengan kepuasan dan kebahagiaan semu yang diperoleh dari target-target bendawi.
Ayat berubah menjadi alat, anak yatim menjadi batu loncatan
penyelamat mencari harta dan keuntungan, silaturrahmi yang semula
dipenuhi jiwa ketulusan sudah mulai ada target untung rugi, demikian
juga dengan membaca al-Qur’an dan qiyamul lail (shalat malam), akan dilakukan bila semua itu menguntungkan. Kalau tidak sebaiknya ditangguhkan dengan berbagai macam tinjauan.
Akhirnya
syetan benar-benar masuk dan mengobrak abrik semua harapan dan
cita-cita.Kekuatan dan pamor yang dimiliki dan selalu dibangun sekian
lama runtuh dan rontok oleh karena kelonggaran yang direkayasa oleh
syetan laknatullah alaihi tersebut. Syetan telah bekerja dengan ekstra
halusnya pada kelompok yang merasa dirinya sebagai bagian dari yang
ingin berjuang dan berjihad fii sabilillah.
Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) mengisyaratkan kehidupan mereka sebagai kelompok manusia yang hidupnya sia-sia. Allah berfirman;
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً
"Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. 18:104)
Alasan
toleransi telah menjadikan manusia kehilangan apinya Islam, roh Islam
dan kekuatan besar yang terkandung dalam jiwa iman. Fungsi kontrol(amar
makruf nahi munkar) menjadi lenyap. Akhirnya hilanglah kekuatan. Benteng
pertahanan menjadi lemah. Jiwa jihad menjadi kendor bagai kekurangan
darah.
Lebih terpuruk bila toleransi atau kelonggaran-kelonggaran
itu telah begitu jauhnya. Sehingga tanpa disadarinya telah berbelok
dari misi suci, bermesra-mesraan dan berdampingan dengan kebatilan,
kemungkaran dan bergandengan dengan penguasaQjuga yang selama ini
menjadi ajang gunjingannya sebagai agen kezhaliman dan penindasan.
Kelonggaran-kelonggaran terhadap hukum Allah terus menyeret para penegak
kebenaran tenggelam bersama mereka yang selama ini memusuhinya. Mengapa
terjadi? Karena telah terjadi pergeseran nilai itu.
Islam dan
ajarannya tidak lagi dinikmati secara penuh. Wahyu dan nilai-nilai yang
mengandung kekuatan doktrin Ilahi tidak lagi menggerakkan jiwa raganya
untuk tampil menghadapi kehidupan, dengan semangat jiwa Islam. Bahkan
Islam yang Indah, hanya hanya diperindah lewat kata-kata, cerita-cerita
dan aneka diskusi yang tiada bertepi di meja makan. Yang akhirnya nilai
Islam makin melebar keluar dari substansi yang sesungguhnya. Budaya
silaturahmi tak akan berarti jika hanya ditulis dan diskusikan.
Nikmatnya hanya benar-benar terasa indah, jika dipraktikkan. Saling
berkunjung kepada saudara, tetangga dan sahabat. Saling memberi hadiah,
cepat datang ketika ada saudara, tetangga dan sahabatnya yang sakit
adalah nilai-nilai Islam yang hanya indah dan terasa jika dipraktikkan.
Taat pada suami, sayang dan perhatian kepada istri, baik
melalui perkataan dan perbuatan juga hanya terasa indah dan nikmat jika
dipraktikkan. Bukan diwacanakan layaknya kaum feminis dan orang Barat
yang tidak suka kehadiran agama. Begitu juga syariat Islam yang
diperintahkan kepada kita. Semua syariat seolah hanya akan membelengu
kita, jika perintah-perintah itu tidak segera kita rasakan dahulu. Mari berkhusnudzon kepada Allah Subhanahu Wata’ala, lalu
rasakan mengapa Allah memerintahkan semua aturan ini kepada kita.
Dengan begitu, nikmat berislam ini baru akan terasa maknanya.
Nah, tak ada salahnya kika kita memulai merasakan nikmat Islam secara sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar