H. Akbar
Ketua BaZIS Ciomas
Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih awal
menjelang ashar. Isteri beliau, Fatimah binti Muhammad menyambut
kedatangan suaminya yang seharian mencari rezeki dengan sukacita.
Menerka-nerka seberapa banyak rezeki yang dibawa Ali, mengingat
keperluan di rumah yang semakin besar. Namun harapan Fatimah tak
tertuai, Ali berkat, “Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang
sepeserpun.”
Tidak ada gurat kecewa dari puteri Rasulullah itu, sebaliknya ia
menyambut suaminya dengan senyum terindah. “Memang yang mengatur rezeki
tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah
Ta'ala” sebuah jawaban yang sejuk terasa hingga ke dalam dada Ali.
“Terima kasih,” jawab Ali lembut. Ali tertunduk seraya bersyukur
memiliki isteri yang tawakkal, meski keperluan dapur sudah habis sama
sekali. Tak sedikit pun Fatimah menunjukan sikap kecewa atau sedih.
Tak berapa lama, Ali berangkat ke masjid untuk sholat berjamaah.
Sepulang dari masjid, seorang tua menghentikan langkahnya, “Maaf anak
muda, betulkah engkau Ali putera Abu Thalib?” Ali menjawab dengan heran.
“Ya betul. Ada apa, Tuan?”. Kemudian orang tua itu mengeluarkan sesuatu
dari dalam tasnya seraya berkata, “Dahulu ayahmu pernah kusuruh
menyamak kulit. Aku belum sempat membayar upahnya, ayahmu sudah
meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”
Dengan gembira Ali menerima haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.
Pulang dari masjid dengan membawa sejumlah uang, tentu saja membuat
Fatimah tersenyum gembira. Ia meminta suaminya segera membelanjakan
kebutuhan sehari-hari di pasar. Ali pun bergegas berangkat ke pasar.
Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan
tangan, "Siapakah yang mau meminjamkan hartanya karena Allah,
bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di
perjalanan.” Tanpa berpkir panjang, Ali memberikan seluruh uang miliknya
kepada orang itu. Ia pun kembali ke rumah sebelum sempat membeli satu
barang pun di pasar.
Ali kembali dengan tangan hampa, membuat Fatimah heran. Kepada
isterinya, Ali menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya,
lagi-lagi Fatimah, wanita yang dijanjikan Rasulullah pertama kali masuk
surga itu pun tersenyum, “Keputusan kanda adalah yang juga akan saya
lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita meminjam
harta karena Allah daripada bersifat bakhil yang di murkai-Nya, dan yang
akan menutup pintu surga untuk kita.”
Dalam kisah lain, dengan susah payah seorang pengemis datang memasuki
Masjid Nabawi di Madinah untuk meminta sesuatu. Sayang, ia hanya
melihat orang-orang melaksanakan shalat dengan khusyuk. Rasa lapar yang
kuat mendorongnya untuk meminta-minta kepada orang-orang yang sedang
shalat. Namun tak satupun menghiraukan dan tetap khusyuk dalam
shalatnya.
Diambang keputusasaannya, pengemis itu mencoba menghampiri seseorang
yang khusyuk melakukan rukuk. Kepadanya ia minta belas kasihan. Ternyata
kali ini ia berhasil. Masih dalam keadaan rukuk, orang itu memberikan
cincin besinya kepada pengemis itu. Tidak lama setelah itu, Rasulullah
memasuki masjid, melihat pengemis itu lalu mendekatinya.
“Adakah orang yang telah memberimu sedekah?”
“Ya, alhamdulillah.”
“Siapa dia?”
“Orang yang sedang berdiri itu,” kata si pengemis sambil menunjuk dengan jari tangannya.”
“Dalam keadaan apa ia memberimu sedekah?”
“Sedang rukuk!”
“Ia adalah Ali bin Abi Thalib,” kata Nabi. Ia lalu mengumandangkan
takbir dan membacakan ayat, “Dan barang siapa yang mengambil Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama Allah) itulah yang pasti menang.”
(Al-Maidah: 56).
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa kisah tersebut di atas
adalah faktor yang menjadi sebab turunnya ayat sebelumnya, yaitu
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).” (Al-Maidah: 55). Asbabun-nuzul ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan Shofyan Ats-Tsauri.
Rasulullah memberikan penghargaan tinggi kepada Ali bin Abi Thalib
karena tindakannya yang terpuji. Bahkan Allah SWT menjadikan tindakannya
itu sebagai sebab turunnya suatu ayat. Ali bin Abi Thalin telah
mengajarkan kepada kita tentang makna kesalihan. Bahwa kesalihan bukan
hanya soal hubungan antara ia dan Tuhannya, melainkan juga ia dan
lingkungan sekitarnya. Ibadah ritual yang berdimensi vertikal tidak
cukup untuk meraih predikat salih, mesti diwujudkan secara nyata dengan
saling berkasih sayang terhadap sesama makhluk Allah di muka bumi.
Semestinya, kesalihan sosial menjadi bentuk nyata dari kesalihan
ritual seseorang. Semakin khusyuk ia beribadah kepada Allah, semakin
dekat ia dengan orang-orang miskin, anak yatim dan kaum dhuafa lainnya.
Semakin rajin ia menegakkan shalat, semakin rutin pula ia bersedekah
menyantuni kaum fakir. Sebab kesalihan ritual dan kesalihan sosial tidak
terpisah satu sama lain dan menjadi cermin pribadi salih sesungguhnya.
Bagaimana mungkin orang bisa khusyuk beribadah sementara tetangganya
merintih kelaparan? bagaimana bisa seseorang rajin mengunjungi Mekah dan
Madinah untuk berhaji sedangkan anak-anak yatim di sekitarnya
terlantar? Ketika para jamaah berhamburan keluar usai melakukan shalat
berjamaah, namun di pelataran masjid ratusan tangan pengemis terjulur
meminta sedekah. Sungguh sebuah pemandangan yang memaksa kita bertanya,
“sudah cukupkah kesalihan kita?”